Aku

Hidupku acak, kalau tak mau dibilang berantakan. Kadang menempati sudut-sudut kota Bandung, kadang berjalan kaki dari indekos di Krapyak sampai Jalan Malioboro hanya untuk minum kopi hitam di angkringan. Coba tanyakan pada Jalan Sakura di Kediri sana, mereka pasti akan bersaksi bahwa aku pernah melintas pada dini hari menjelang adzan shubuh berkumandang.

Aku pernah hampir kena tilang di Songgoriti, Malang. Jejak langkahku juga ada di barisan pantai di Kecamatan Ayah, Kebumen. Aku masih ingat pada suatu malam ketika pesta pantai, bunyi ombak yang memecah kesunyian dan juga bau ikan bakar bercampur kecap manis. Juga jalanan di Jatijajar yang waktu itu dipenuhi dengan mbok-mbok penjual gembus singkong yang dijual satu geteng seharga tiga ribuan. Megahnya bendungan Sempor juga pernah aku saksikan sendiri, jalanan yang sepi, tukang rujak dan ibu-ibu dengan tatapan mata heran di sepanjang jalan, juga anak-anak kecil yang berlarian saat istirahat jam sekolah.

Begitupun dengan Pantai Menganti yang begitu mistis menjelang adzan maghrib, perahu-perahu nelayan seperti noktah dengan lampunya yang terang terlihat dari salah satu bukit dengan warung kecil di atasnya.

Aku melihat seekor hiu yang tertangkap salah satu perahu nelayan di Desa Pasir, juga ubur-ubur berwarna hijau dengan jumlahnya sangat banyak yang memaksaku menutup hidung karena tak tahan dengan baunya. Aku menikmati kesibukan para nelayan yang mengangkat ikan-ikan tenggiri dan layur dalam wadah, lalu membawanya ke Tempat Pelelangan Ikan. Beberapa ikan pari ukuran besar diletakkan begitu saja. Anak-anak kecil telanjang terlihat begitu riang bermain di tepian pantai, saling berlemparan pasir.

Lalu aku ada di Bekasi, pada sudut rumah di Perumnas I dengan langit-langitnya yang dapat disentuh dengan tangan. Jalanan di Kayuringin menjadi saksi ketika aku melintas berjalan kaki dari Metropolitan Mall sampai masjid dengan menara airnya yang tinggi. Coba tanyakan pada seorang bibi yang berjualan Soto Ayam Surabaya tak jauh dari tempat pemadam kebakaran, yang mengisi malam-malamku dengan obrolan tentang kampung halaman dan juga lembah Gunung Ciremai.

Bukit-bukit yang semakin habis di sepanjang jalan dari Cianjur menuju Sukabumi, aku menyaksikannya sendiri. Juga truk-truk Toyota Bayawak buatan tahun 80-an yang ikut meramaikan jalanan yang berdebu dengan penuh kelokan.

Ada bagian-bagian dari memoriku yang memuat tentang Jalan Yosodipuro sana, juga tentang pedestrian walk di sepanjang Jalan Brigjen Slamet Riyadi. Gadis manis berponi bernama Nadia di Solo Paragon, angkringan di perempatan tak jauh dari ATM Bank Mandiri, warung nasi yang menyediakan Soto Ayam seharga lima ribu saja, dan juga Pura Mangkunegaran yang pagi itu masih sepi.

Kemudian aku singgah di Semarang, dalam panasnya Terminal Terboyo setelah keluar dari bus Safari yang membawaku melintasi Kartosuro, Boyolali dan Salatiga. Aku melihat ramainya Pasar Johar pada jum’at siang, juga suara orang mengaji di Masjid Agung Kauman yang letaknya hanya selemparan batu saja. Ada beberapa toko yang menjual kitab-kitab kuning, warung-warung makan yang menjual soto ayam, soto daging, sate, angkringan dan juga minuman-minuman dingin. Aku masih ingat, ketika seorang mbok di Pasar Johar memberiku plastik tipis berwarna hijau karena kasihan melihatku menenteng kedondong yang baru saja aku kupas dengan pisau pinjaman dari pemilik warung soto dalam plastik bening tanpa pegangan.

Juga tentang jalanan di Kota Lama, mendung pada suatu sore di Taman Srigunting dengan beberapa penjual barang klitikan dan Masjid Sholeh Darat yang sengaja aku singgahi dengan bantuan dari Google Maps. Semarang seperti begitu dekat, dengan Jalan Pemuda yang selalu ramai, juga Sri Ratu yang menawarkan kesejukan pendingin udara dalam udara Semarang yang begitu panas. Lumpia Mbak Lien di salah satu sudutnya dan orang-orang yang duduk lesehan pada warung-warung tenda di sepanjang jalan.

Kemudian Jombang, tentang Taman Keplak Sari tak jauh dari Teminal. Bakso Mama yang menjadi salah satu bakso terenak yang pernah aku makan. Lokasinya tak jauh dari Klenteng di Jalan L.L R.E Martadinata. Tiba-tiba ada rasa rindu pada Masjid Agung Jombang yang menyeruak, dengan suara imamnya yang begitu merdu. Jombang yang menawarkan kesederhanaan, tentang pasar malam di lapangan tak jauh dari Pendopo Kabupaten dengan sudut-sudutnya yang dipenuhi dengan sangkar burung merpati. Sate tempe yang dibalut dengan tepung bergaya KFC dan juga satu gelas es tebu yang hanya seribuan.

Siang itu aku masih merasa mabuk laut setelah perjalanan 5 jam dari Pelabuhan Karimunjawa, K.M Siginjai yang kunaiki berlabuh di Pelabuhan Kartini tak lama setelah lepas waktu dzuhur. Dengan becak kemudian berangkat menyusuri jalanan di Kabupaten Jepara, tak lama, tujuan kami di Rumah Makan Cipto Roso dengan menu Pindang Seraninya yang luar biasa sedap dengan segarnya potongan belimbing wuluh dan tomat hijau.

Karimunjawa sedikit diguyur gerimis tipis ketika langkah kakiku beranjak dari Cocohuts, rumah-rumah warga nampak sederhana dengan jalanan yang cukup baik. Sesekali bule terlihat berboncengan dengan sepeda motor menuju arah Pelabuhan.

Alunan tahlil sayup-sayup terdengar ketika aku singgah di Masjid Agung Demak, tak begitu jauh dari Makam Raden Fatah. Alun-alun yang persis berada di depan masjid nampak ramai dengan orang-orang yang bercengkrama, anak-anak kecil yang bermain balon dan beberapa orang yang nampak sedang berolahraga.