Menuju Burangrang

Minggu, 14 Oktober 2012 rasa gundah dan rindu akan petualangan mengantarkan saya untuk menjelajahi sisi lain dari Kota Kembang. Sebuah rencana yang tiba-tiba mengantarkan saya menggapai tangan Gunung Burangrang, sebuah gunung dengan ketinggian 2.057 meter. Tujuan saya sebetulnya bukan untuk naik ke Burangrang karena kondisi saya sendirian, melainkan ke sebuah Danau yang merupakan kaldera dari letusan Gunung Sunda 2-3 juta tahun yang lalu, terletak diantara Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Sunda.

Sebuah perjalanan yang butuh sedikit sisi kegilaanpun dimulai, dengan hanya berbekal sarapan pagi dan sebotol air mineral ukuran 1,5 liter saya berangkat dengan berjalan kaki dari Bumi Sariwangi tempat saya tinggal. Menyusuri sepanjang Jalan Sariwangi dan belok kanan menuju Jalan Cibeureum-Alun-alun, jalanan yang hanya selebar kurang lebih 5 meter ini cukup jarang dilalui kendaraan. Tidak ada kemacetan ataupun antrian panjang kendaraan seperti di kawasan Bandung bagian Kota. Rumah-rumah penduduk nampak sederhana, jauh dari kesan mewah. Beberapa warung bakso nampak lebih banyak daripada warung nasi, entahlah saya sedikit heran dengan kondisi ini, hanya beberapa saya jumpai warung yang menyediakan Nasi, selebihnya adalah warung bakso, mie ayam dan beberapa warung kecil yang menjajakan makanan untuk anak-anak. Stand-stand counter yang menjual pulsapun cukup banyak tersedia disepanjang Jalan Cihanjuang.

Memasuki Jalan Daeng Mohammad Ardiwinata mata saya dimanjakan dengan berjejernya perkebunan dengan beragam sayur-sayuran, bukit-bukit kecil dengan kemiringan yang cukup tajam menjadi pengusir rasa lelah yang cukup berguna. Beragam jenis sayuran sepertinya sangat cocok untuk ditanam di daerah ini, beberapa tanaman seperti Labu, Tomat, Terong, Sawi, Ketumbar dan bahkan beberapa jenis tanaman hias dengan bunga yang berwarna-warni saya jumpai disepanjang perjalanan. Kawasan ini sungguh indah dan memanjakan mata.

Sesekali saya melihat lelaki paruh baya dengan karung besar dipunggungnya, berjalan kaki menyusuri panjangnya Jalan Cihanjuang memungut apa yang sekiranya bisa menghasilkan uang. Pemandangan yang indah tetap tak bisa menghipnotis kaki saya yang sudah berjalan dengan jarak yang cukup lama, terpaksa sesekali saya membungkukkan badan dan memijiti kaki saya yang jari-jarinya sudah terasa kaku. Sungguh daerah ini elok dengan alamnya, dari sepanjang Jalan Cihanjuang-Jalan Daeng Muhammad Ardiwinata bisa terlihat Gunung Burangrang disebelah kiri dan Gunung Tangkuban Perahu di sebelah kanan.

Langkah kaki saya memasuki persimpangan Jalan Kolonel Matsuri, belok kiri melintasi jalan di depan Kampus Universitas Advent Indonesia. Disini untuk pertama kalinya saya melihat dan bertanya langsung dengan para pekerja kasar dari orang-orang yang sepertinya dari bagian Timur Indonesia, satu diantaranya berbadan kekar dengan kulit yang hitam layaknya orang di belahan bumi Afrika.

Tidak begitu jauh dari kampus Universitas Advent Indonesia terdapat wana wisata Curug Cimahi, sebelah kiri Jalan Kolonel Matsuri jika dari arah Advent, terdapat jurang yang sangat curam dan dibawah jurang itulah letak Curug Cimahi. Beberapa saat setelah melewati Curug Cimahi, adzan dzuhur berkumandang dari menara-menara Masjid di sekitar kaki Gunung Burangrang. Segera saya mencari lokasi dari suara-suara tersebut untuk menunaikan Sholat Dzuhur. Air disini seperti air es, sangat dingin untuk ukuran saya yang sudah tinggal di Bandung selama 3 bulan lebih.

Perjalanan saya lanjutkan setelah merebahkan diri sejenak di Masjid yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari Curug Cimahi. Masih menyusuri sepanjang Jalan Kolonel Matsuri dan kemudian belok kanan di jalanan dengan gapura bertuliskan KOMANDO diatasnya. Kesanalah arah masuk Gunung Burangrang dan sebuah Situ yang dihimpit oleh 3 Gunung.

Jalan Kertawangi, sebuah jalanan berbatu dengan kerikil-kerikil yang cukup tajam, pembangunan selokan-selokan yang sedikit terbengkalai menjadi pemandangan disepanjang jalan. Rumah-rumah nampak sederhana, daerah ini nampak gersang. Terlihat dua anjing kecil yang sedang berlarian, terkadang mengikuti majikannya dari belakang. Gunung Burangrang makin terlihat puncaknya, sebelah kiri Jalan Kertawangi dipenuhi dengan hamparan perkebunan sayuran dan jurang yang sedikit curam.

Langkah kaki saya semakin gontai karena medan yang ditempuh cukup menyiksa, dan sialnya saya hanya beralaskan sandal jepit karena sandal Eiger saya putus beberapa waktu yang lalu. Terkadang texture bebatuan kecil terasa menyentuh telapak kaki. Dari kejauhan nampak 3 buah motor trailer yang berjalan dengan kecepatan cukup tinggi, mereka tak peduli dengan kondisi jalan yang berbatu, melewati saya begitu saja tanpa permisi. Ah untuk apa pula permisi? tapi memang saya kurang merasakan sapaan hangat dari penghuni wilayah di kaki Gunung Burangrang ini, sepanjang perjalanan di Jalan Kertawangi saya hanya mendapati mata-mata yang nampak penuh pertanyaan, apa gerangan yang akan dilakukan oleh pemuda bertubuh kecil dengan beralaskan sandal jepit, menenteng sebuah botol mineral yang isinya tinggal sisa setengah dengan tas laptop dipunggungnya.

Memasuki kawasan hutan saya berjalan seorang diri, pemandangan disini nampak sedikit menyeramkan dengan suara desiran angin yang menggesekkan dedaunan dari pohon-pohon yang tinggi menjulang. Wussshh.. suasana nampak sedikit mistis ketika melihat suasana hutan disebelah kanan yang nampak gelap. Pemandangan disini sungguh menakjubkan, melihat kebawah akan disajikan pemandangan Kota Bandung yang nampak kecil, hamparan padang rumput yang masih dipenuhi dengan semak belukar, puncak Gunung Burangrang yang gagah menjulang dan tak lupa dengan hamparan perkebunan. Kombinasi alam yang menyejukkan mata, mengingatkan kita untuk bertafakkur atas Allah yang sudah menciptakan ini semua.

Langkah kaki saya terhenti ketika melihat sebuah bangunan militer bertuliskan KOPASUS, saya masuk untuk bertanya apakah dibolehkan untuk mengunjungi Situ, ah sialnya…. Sesosok anggota KOPASUS yang berbadan tinggi itu menjelaskan bahwa saya tak boleh masuk kalau hanya untuk melihat-lihat. “Ini kawasan militer, harus ada surat izin untuk masuk kesana.” kurang lebih begitu yang beliau katakan. Jarak dari posko KOPASUS tersebut menuju ke arah Situ ternyata masih sekitar 5-6 KM. Anggota KOPASUS yang berasal dari medan itu sedikit tidak percaya begitu saya menjelaskan kalau saya berjalan kaki seorang diri, bahkan beliau sempat curiga saya ini makhluk galau yang sedang putus cinta dan akan mengakhiri hidupnya di Gunung Burangrang. Saya pikir logis beliau berpikiran seperti itu, mengingat saya hanya seorang diri berjalan kaki sekitar 4 jam.

Rasa lelah sangat saya rasakan sejak menginjakkan kaki di posko KOPASUS, saya berjalan kearah belakang POSKO, terlihat puncak Gunung Burangrang yang hanya berjarak 1-2 jam perjalanan lagi. Nampak kokoh dan misterius, ditambah lagi dengan cerita dari anggota KOPASUS tadi yang sering mengatakan ada kejadian-kejadian mistis dikawasan ini. Sejenak saya merebahkan diri dihamparan rumput, semilir angin lembah menyejukkan badan. Lagi-lagi suara gesekan dedaunan dari hutan disekeliling membuat suasana semakin menyeramkan, suara itu lama-lama terdengar seperti teriakan, suara hutan. Mata saya sesekali tertuju pada puncak Burangrang dan sesekali memandang mungilnya Kota Bandung di ujung sana.

Terkadang saya berpikir untuk apa semua ini? Semua perjalanan ini? Perjalanan melelahkan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mungkin harus punya sisi gila dalam hidupnya. Normalkah saya? Saat orang lain lebih memilih naik kendaraan atau menikmati megahnya Mall-mall di kawasan perkotaan saya justru lebih memilih menyendiri dan bercengkrama dengan Alam. Menikmati aroma mistis kawasan pegunungan dan luasnya padang rumput. Saya, seorang dirikah? Apakah ada sosok lain di belahan bumi lain yang bertingkah laku sama?

Sejenak merebahkan diri dalam balutan rumput saya beranjak pergi, berpamitan dengan anggota KOPASUS yang menjaga Burangrang, tangan kekarnya saya rasakan ketika berjabat tangan, menandakan hidupnya sebagai anggota KOPASUS yang penuh dengan perjuangan. Ya, sebagian orang berjuang untuk hidupnya masing-masing, sebagian lagi berjuang untuk hidup orang lain dan mungkin sebagian orang tidak tahu harus berjuang untuk apa.

Langkah kaki saya menginjak jalanan yang sama namun kini berlawanan arah, sebuah perjalanan pulang yang pastinya akan terasa lebih berat karena faktor kelelahan. Langkah kaki saya kembali gontai, tak terlalu dapat menyaksikan keindahan yang disajikan oleh alam. Kepala terasa berat untuk tetap tegak. Tatapan-tatapan penuh rasa heran itu tak saya hiraukan, membiarkan mereka berpikir sesuai dengan apa yang ada dipikiran mereka masing-masing.

Perut saya keroncongan mengingat baru tadi pagi saya sempat makan, akhirnya saya memutuskan untuk makan di sebuah warung nasi sederhana di pinggiran Jalan Cihanjuang. Perlu bersabar untuk menemukan warung nasi, seperti yang saya ceritakan diawal, disini jauh lebih banyak warung Bakso dan Mie Ayam. Waktu menunjukkan sekitar pukul 4 sore ketika saya berada di depan pintu tempat saya tinggal, Alhamdulillah saya pulang.